Praktik poligami oleh Nabi Muhammad
Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal ( Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah(putri sahabatnya Abu Bakar). Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial [6]. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuandalam tradisi feodalArab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan jandasedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali. Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib
Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: [7] “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” Penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu. “Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.”
Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal ( Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah(putri sahabatnya Abu Bakar). Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial [6]. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuandalam tradisi feodalArab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan jandasedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali. Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib
Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: [7] “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” Penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu. “Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.”
Komentar